Peneliti Mengungkap Efek Cukai MBDK, Diperkirakan Menurunkan 3,1 Juta Kasus Diabetes

ilustrasi-diabetes

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendorong pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan cukai untuk minuman berpemanis dengan kemasan (MBDK). Meskipun kebijakan ini telah ditunda beberapa kali, rencananya akan segera diterapkan tahun ini.

Penerapan kebijakan cukai ini dianggap sangat penting oleh CISDI karena tingginya tingkat konsumsi MBDK di masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan MBDK yang murah dan mudah diakses, bahkan anak-anak sudah terbiasa mengonsumsi minuman manis peranca toto tersebut sejak usia dini.

Baca Juga : BPJS Kesehatan Mendukung Penelitian Mengenai Pajak Minuman Manis

Melalui penelitian terbaru, CISDI telah mengidentifikasi berbagai manfaat yang mungkin muncul jika harga produk MBDK dinaikkan sebesar 20 persen melalui penerapan cukai. Hasil riset menunjukkan bahwa penerapan cukai MBDK dapat mengurangi konsumsi hingga 17,5 persen.

Muhammad Zulfiqar Firdaus, M IDEC, Associate Riset Ekonomi Kesehatan CISDI, menjelaskan bahwa penerapan cukai MBDK dapat secara signifikan mengurangi jumlah kasus diabetes tipe dua. Diperkirakan, kebijakan ini dapat mencegah 3,1 juta kasus diabetes baru antara tahun 2024 hingga 2033.

Riset ini didasarkan pada analisis pemodelan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan elastisitas harga permintaan MBDK dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021.

Menurut estimasi Zulfiqar, jika kebijakan cukai tidak diberlakukan, jumlah kasus diabetes baru dalam 10 tahun dapat mencapai 8.949.769 kasus. Namun, dengan penerapan cukai MBDK, jumlah kasus dapat berkurang menjadi 5.854.126 kasus.

Selain itu, penurunan signifikan juga diperkirakan terjadi pada angka kematian yang disebabkan oleh diabetes atau komplikasinya. Diperkirakan, penerapan cukai dapat menyelamatkan 455.310 nyawa dari kematian akibat diabetes dalam 10 tahun.

Soewarta Kosen, MD, MPH, DrPH, Principal Investigator CISDI, menegaskan pentingnya penerapan kebijakan ini, mengingat tingginya tingkat konsumsi MBDK di Indonesia, terutama pada anak-anak.

“Berdasarkan data Riskesdas 2018, 61,3 persen penduduk Indonesia mengonsumsi MBDK setidaknya sekali sehari. Di perkotaan, 57,5 persen anak-anak dan remaja mengonsumsi MBDK 5-7 kali seminggu,” ungkap Soewarta.

Sumber : DetikHealth

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *